10
Mentari jatuh ke peraduannya, meninggalkan pendar merah bercampur oranye yang perlahan lahan tergantikan dengan gelapnya malam bersama dengan rembulan yang perlahan datang.
Cahaya dari lampu motor menerangi jalanan yang lengang, hanya satu atau dia kendaraan yang melintas bersama dengan milik Suna dan (Y/n).
Keduanya tak ada yang membuka pembicaraan, hanya deru angin dan kendaraan yang mengisi ruang pendengaran. Sama seperti beberapa waktu lalu di bioskop.
Saat mereka sampai di tempat tujuan, film yang mereka pilih masih membutuhkan beberapa jam sebelum pemutarannya. Jadi, (Y/n) mengusulkan untuk berkeliling mall sembari menunggu waktu pemutaran film dan selama itu juga Suna sama sekali tak membuka suara. (Y/n) pun enggan memulai pembicaraan.
Seperti yang diduga, selama film berlangsung Suna hanya terdiam. Meskipun film yang tayang kali ini adalah film komedi tapi, Suna sama sekali tak menampakkan wajah terhibur, justru lebih terlihat tak tertarik. Berbeda dengan (Y/n) yang puas tertawa terbahak bahak di tiap scene-nya.
Keluar dari gedung pun tak ada perubahan, Suna masih menampakkan wajah tertetekuknya tapi, (Y/n) berusaha tak menghiraukan hal itu dan menutup mata akan apa yang ada didepannya.
Namun, kali ini (Y/n) merasa menyesal membiarkan semua itu terus berlanjut. Kini semua terasa canggung dan aneh, rasanya seperti bersama dengan boneka hidup yang bernapas dan kalau boleh jujur, wajahnyalah yang paling mengganggu.
Ayo ngomong, woi!!! Batin (Y/n) kesal.
"Suna." Panggil (Y/n) dengan mata yang terfokus pada spion. Sayangnya, dia sama sekali tak bisa melihat air muka orang di depannya yang berada di balik helm itu. "dari tadi lu kenapa?"
Suna sama sekali tak bergeming, membiarkan (Y/n) lelah berharap dia membuka suara barang sedikit. Sayangnya tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
Ni orang maunya apa sih? Keluh (Y/n), nyaris berada di ujung titik kesabarannya. Di baekin diem, didiemin malah ngeselin!
Tak ada niatan mencoba kembali, (Y/n) hanya diam memandang setiap detail yang mereka lewati sampai matanya menangkap cahaya penuh warna yang memeriahkan dunia malam di depannya.
Semakin mendekat mereka, semakin tampak jelas pasar malam dengan banyak tempat permainan yang penuh dengan cahaya.
Seketika, ingatan bersama dengan kakaknya kembali datang. Senyum yang sempat terukir di wajahnya perlahan tergantikan dengan senyum pahit. Dengan menunduk, (Y/n) berharap segera menjauh dari tempat ini.
"Kita ke pasar malem itu bentar." Namun, sepertinya semesta masih ingin bermain dengan (Y/n) kali ini. Suna yang sebelumnya diam seribu bahasa kini membuka suara hanya untuk memberi tahukan hal yang tak ingin ia dengar.
Setelah menemukan tempat memarkirkan motor, keduanya berjalan mencari wahana yang tak terlalu banyak pengunjung.
Selama perjalanan keduanya tak ada yang membuka suara, (Y/n) yang beberapa waktu yang lalu masih menampakkan raut penuh ekspresi kini menunduk, menyembunyikan wajah di balik helaian rambut.
"Sorry dari tadi gua diem aja." ucap Suna meruntuhkan keheningan dengan sesekali melirik (Y/n) dari sudut matanya.
(Y/n) hanya menoleh sekilas sebelum kembali menunduk, memandangi tanah yang lebih menarik dibanding dengan yang ada di sekelilingnya.
Suna yang melihat perubahan (Y/n) dibuat cukup bingung. "Lu- Lu marah sama gua?" tanya Suna dengan wajahnya yang mulai menampakkan raut bingung. "Sorry deh."
"Siapa yang marah sama lu." Jawab (Y/n) ketus, menampar Suna telak. "buat apa juga gua marah sama lu. Gajelas."
Bingung, panik dan canggung mulai menghampirinya. Suna tak tahu jika akan jadi seperti ini situasinya. Lah gua ngajak dia kesini ko malah gantian dia yang aneh sih? Keluhnya dengan sesekali melirik (Y/n) yang masih menunduk. Padahal dari tadi gua udah nyiapin diri buat cerita.
"Gua mau ngomong," kata Suna dengan tangan yang sibuk menggaruk tengkuk yang tak gatal sama sekali.
"Apa?"
Suna tak melanjutkan ucapannya melainkan langsung menarik (Y/n) menuju penjual permen kapas tak jauh dari tempat mereka.
"Dua pak." Kata Suna yang langsung mendapatkan pesananya. "nih" dengan tangan yang menyodorkan salah satu permen kapas pada (Y/n).
"Makasih." Balas (Y/n) sembari menerima permen kapas itu. Dan kembali melanjutkan langkah.
(Y/n) menatap sekeliling, dirinya semakin merasa tak nyaman berada di sini. Kenangan yang harusnya indah justru kini menyiksanya. Dia tak bisa melanjutkan ini, dia harus mencari pengalihan dan pergi dari tempat yang membuatnya sesak, nyaris sulit untuknya bernapas.
Baru saja (Y/n) akan membuka suara, sebuah tangan sudah terlebih dahulu menariknya menuju biang lala yang masih sepi pengunjung. Tanpa perlu mendongak pun, (Y/n) tahu tangan milik siapa itu tapi, anehnya dia tak merasa marah ataupun kesal. Sebaliknya, dia merasa aman.
Perlahan lahan, kepala yang sebelumnya menunduk itu dapat kembali menatap jauh kedepan, seakan semua hal yang mengganggu pikirannya seketika menghilang.
Selesai membeli karcis, keduanya beranjak menaiki salah satu bilik kosong yang telah menunggu. Tangan yang sebelumnya saling menggenggam kini telah saling meninggalkan.
Perlahan lahan bilik itu naik dan mulai menampakkan keindahan sekitar dari ketinggian. (Y/n) yang sebelumnya terlihat tak tertarik mulai menampakkan senyum tipisnya.
Syukur deh, bisa naekin mood dia, pikir Suna dengan mata yang memandang (Y/n) lekat.
"Jadi," kata Suna mulai membuka percakapan. (Y/n) yang sebelumnya menatap jauh keluar kembali memfokuskan dirinya pada Suna yang kini menampakkan raut tak nyamannya.
"Kenapa?"
"Gua tadi sempet ketemu ibu gua." Satu kalimat itu saja sudah cukup membuat (Y/n) terkejut tapi, dia masih bisa menahan pertanyaan yang muncul di kepalanya dan memberikan ruang pada Suna untuk melanjutkan ucapannya.
"Sebelum ke kafe, di tengah jalan gua mampir ke minimarket buat beli minuman kaleng dan pas mau beli gua papasan sama dia.
Dia keliatan kurus, sempet kasian liatnya tapi, gua belum siap ketemu dia." Suna menatap jauh keluar. "gua buru buru balik tapi ternyata dia udah sadar kalo ada gua di sana dan langsung manggil sambil nyamperin gua.
Gamake basa basi, dia bilang kalo dia kangen gua." tanpa sadar jarinya saling bertautan dengan menampakkan ekspresi yang sullit di pahami. "gua takut tembok pertahanan yang udah gua bangun dari lama langsung rontok. Gua masih inget banget waktu mental gua di coba sama mereka.
Mereka minta semua hal ke gua tapi, gapernah sekalipun ngasih semangat atau apalah itu, justru mereka bandingin gua sama yang lain. mereka selalu mau gua nurutin kemauan mereka tapi, gapernah ada buat gua dan waktu itu juga mereka nyaris ngerebut jati diri gua. Gua udah capek, bahkan nginget gitu aja gua dah capek banget."
Suna kini menatap (Y/n) lekat, seakan meminta pembelaan. Matanya penuh kebingungan tapi, dia tak berani mengambil keputusan di mana dirinya harus memberikan kesempatan yang entah keberapa pada orang tuanya.
"Terus?"
"Gua pergi."
"Dan itu alesan lu diem aja dari tadi?" yang di tanya mengangguk. "alesan kenapa gua ngerasa kayak jalan sama boneka? Alesan gua ngerasa canggung terus terusan?" sindir (Y/n).
Keringat dingin siap meluncur indah dari dahinya. Suna bingung harus menanggapi seperti apa. "Gu- Gua kan udah minta maaf buat itu." Tapi (Y/n) hanya diam dengan membuang wajahnya. "gua bawa lu kesini juga kan buat permintaan maaf gua, (Y/n)."
(Y/n) yang mendengar itu, segera melirik orang di seberangnya tapi, tak berniat membuka suaranya. Membiarkan suasana hening untuk sejenak, menikmati pemandangan dari puncak biang lala.
"Gua rasa, apa yang lu lakuin udah bener," Suna segera menatap (Y/n) di seberangnya. "lu kan belum siap dan juga gaada jaminan mereka nggak bakal balik kek dulu kalopun lu kasih mereka kesempatan."
Suna mengangguk, mengiyakan pendapat (Y/n). Dalam hatinya bersyukur karna orang yang mendengarkan ceritanya bisa melihat hal dari sisinya, bukan sisi yang lain.
Perlahan lahan bilik itu berhenti tepat di posisi awal. Dengan cepat mereka keluar dan meninggalkan wahana itu dengan permen kapas yang sama sekali belum tersentuh.
"Makasih, ya." Kata Suna tiba-tiba. Tangannya dengan perlahan membuka plastik bening yang melindungi permen kapas di tangannya. "gua kira lu bakal bilang kalo apa yang gua lakuin ini salah."
(Y/n) pun ikut menanggalkan plastik bening permen kapasnya dan menjejalkan satu sobekan besar ke mulut untuk kemudian meleleh dalam sekejap. "Gua cuman ngomong apa yang menurut gua bener." Jawab (Y/n) enteng.
"Eh di sana!" Suna yang menunjuk ke suatu tempat di depan mereka mengalihkan perhatian (Y/n). Tanpa menunggu, Suna menarik (Y/n) menuju komidi putar jauh di depan sana.
Setelah membeli karcis, keduanya memilih tunggangan masing-masing. (Y/n) memilih kuda merah jambu sedangkan Suna memilih kuda putih dengan kedua kaki sebagai penopang tubuh.
Keduanya saling menertawakan satu sama lain tanpa objek yang jelas. Dengan mulut yang dipenuhi manisnya permen kapas dan kuda yang seakan membawanya memutari dunia, (Y/n) tersenyum puas. Sekilas ingatan akan sang kakak kembali datang tapi, tak lagi menyakitkan seperti beberapa waktu yang lalu. Ingatan itu kini seakan telah dipoles dengan ingatan baru yang menutup bagian menyakitkan darinya.
Dengan pasti manik (Y/e) itu menangkap sosok pemuda di depan yang asyik menikmati permen kapasnya. Tanpa sadar bibirnya menampakkan senyum samar.
Selesai diajak mengelilingi dunia dengan komidi putar. Suna mengeluarkan Kamera yang sejak awal dia bawa di tasnya.
(Y/n) hanya melihatnya dengan tatapan bingung tapi enggan membuka suaranya. Dia hanya mengikuti Suna yang mengarahkan kameranya ke wahana tak jauh dari mereka.
"Lanjut." Dan mulai melangkah dengan (Y/n) yang berusaha mensejajarkan langkah mereka.
Satu persatu stan makanan mereka cicipi, sama halnya dengan wahana, mereka tak membiarkan ada satu pun terlewat. Dengan senyum yang terulas di wajah masing-masing, keduanya mendapatkan waktu yang cukup pantas di sebut kenangan indah. Melupakan semua kegundahan yang pernah melanda.
"(Y/n)," panggil Suna. Yang di panggil pun segera datang. "coba bediri di sana." Dan sesekali mengarahkan postur apa yang harus gadis itu tampilkan. "Iya gitu!" dan mulai menyiapkan kamera. "Tahan..." selang beberapa detik suara jepretan samar memasuki ruang pendengaran. "yak!"
"Coba liat!" pekik (Y/n) antusias dan terkejut di detik berikutnya. "keren." Pujinya setengah berbisik tapi, masih cukup keras untuk di dengar Suna yang berada di samping.
Setelah puas mengabadikan beberapa bagian dari tempat ini Suna kembali menyimpan kameranya di tas dengan (Y/n) yang masih berusaha menghabiskan Ringo Ame di tangannya.
Melirik jam di ponselnya. "Pulang yuk." Ajak Suna.
Merasa puas dengan apa yang sudah ia dapatkan, (Y/n) mengiyakan ajakan pemuda itu dan kembali menuju parkiran, sebelum kembali membelah malam menuju rumah (Y/n) yang cukup jauh dari pasar malam ini.
Tak ada lagi canggung atau keheningan di antara mereka, semua terasa lebih baik dari sebelumnya.
Selang beberapa lama, mereka sampai di jalan yang tak asing bagi (Y/n), rumah (Y/n) ada di blok depan. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai.
Namun, setelah sampai tempat di depan rumahnya. (Y/n) tak beranjak turun, matanya justru menerawang panik.
Cukup! Gua capek!
"Sun," kata (Y/n) tenang yang cukup membuat Suna terkejut dengan perubahan gadis di belakangnya. Beberapa waktu yang lalu (Y/n) masih bisa tertawa bersamanya tapi kali ini, dia sama sekali tak mendengar riak apa pun dari suara di belakangnya. "gua nginep di rumah lu ya?"
_____
Wkkk up lagi.
gapapa lah ya mumpung lancar ngetiknya wkwkwk
apa yak, tadi keknya mau ngomong banyak tapi, skeng lupa TT_TT
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro